Islam hadir sebagai suatu aturan hidup yang mencakup seluruh aspek dalam kehidupan, jika dari sejak bangun tidur hingga ke kamar mandi diberi tata cara dan doa tentu hal yang lebih mendasar terkait perasaan juga terdapat tata cara dan aturan. Meski hal ini tidak umum kita temui di zaman ini namun sejatinya Islam memberi konsep-konsep yang jelas tentang perasaan, terutama suatu perasaan yang pembahasaannya selalu hangat dari masa ke masa, perasaan yang menembus ruang dimensi dan waktu, satu perasaan yang lidah manusia abad 21 mudah sekali mengucapkannya yaitu, Cinta.
Bukankah jarang kita temui di era saat ini pembahasan dari ahli maupun pencari ilmu tentang cinta menggunakan sudut pandang islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist serta bersandar pada pendapat dan penjelasan-penjelasan dari para Ulama Salaf, ulama awal, maupun Khalaf, ulama kemudian hingga saat ini. Mengapa begitu?, hal ini bila ditelaah secara historis dapat kita pahami bahwa sejak munculnya pemahaman-pemahaman Yunani yang mempengaruhi dunia islam pada masa dinasti Abbasiyah banyak orang mulai menggunakan interpretasi-interpretasi para pemikir yunani untuk menelaah tentang perasaan ini dari mulai konsep Eros, Agave, sampai Platonis. Terlebih lagi seiring berjalannya waktu terjadi peristiwa Renaissance sebagai kebangkitan keilmuan di dunia barat yang perlahan memulai dominasi pemahaman negara-negara barat yang berdasar pada para sarjana-sarjana Yunani terhadap dunia Islam.
Dengan realitas itu hadirlah masa dimana orang-orang tidak lagi mencoba menemukan makna esensial tentang perasaan, terutama tentang cinta. Kebanyakan orang tidak mempermasalahkan apa, kenapa dan bagaimana memahami cinta, membuat perasaan yang begitu agung ini menjadi kosa kata yang murah dan dangkal ketika diucapkan.
Padahal bila merujuk kembali kepada Al-Qur’an Allah sudah menyampaikan dalam Surah Ali-Imran ayat 14 : “Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.”
Dalam ayat ini digunakan kata Al-Hubb yang didampingkan dengan kata Asy-Syahawat yang secara langsung menjelaskan bahwa kecintaan kepada Perempuan, Anak-anak, Harta benda, Kendaraan pilihan, Hewan ternak, Sawah ladang. Sejatinya adalah kecintaan yang didasari oleh Syahwat, yakni perasaan yang didorong oleh nafsu dunia, ini selaras dengan akhir ayat yang menyatakan bahwa semua hal tersebut adalah “kesenangan dunia”. Hal ini sejatinya adalah peringatan dari Allah untuk tidak memfokuskan diri pada hal-hal tersebut, bahkan dalam dimensi interaksi lawan jenis antara laki-laki dan perempuan Allah memberi batasan yang tegas sebagaimana satu ayat populer yang tercantum dalam Qs. 17. 32 yang lafaznya “La Taqrabuz Zina” janganlah engkau mendekati zina, bukan jangan mengerjakan melainkan jangan mendekati, hal ini berselaras dengan ayat lain dalam Al-Qur’an yakni Qs. An-Nur 30-31, dimana Allah secara langsung menyampaikan kepada laki-laki dan perempuan untuk menundukkan pandangan serta menjaga kemaluannya!.
Konsep ini adalah fondasi berpikir yang harus kita yakini bilamana mengaku sebagai seorang muslim, terutama karena kita hadir di zaman fitnah yang mudah sekali terjadi kesalahpahaman dan kemaksiatan. Disisi lain dalam hadist dapat kita temukan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda : Tidak beriman salah seorang di antara kamu hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. (HR. Bukhori & Muslim). Tentu cinta di sini bukanlah cinta berdasarkan Syahwat yang didorong oleh hawa nafsu, melainkan cinta yang didasari oleh kesadaran bertauhid, dan kecintaaan kepada sesama muslim, kepada Syari’at, kepada Allah serta Rasul-Nya.
Lalu apakah Islam melarang cinta dalam dimensi romantisme sebagaimana yang hari ini menjadi arus keyakinan utama mayoritas orang-orang?, Tentu tidak! Justru Allah menyiapkan perasaan-perasaan yang lebih powerfull dari sekadar cinta manakala seorang insan menggapai romantisme cinta sesuai dengan “prosedur” yang telah Allah tetapkan. Tidak lain tidaak bukan adalah pernikahan yang dalam ikatan tersebut Allah menjanjikan tiga dimensi cinta yang tak akan diraih antar sesama manusia dalam ikatan lain selain pernikahan yaitu : Sakinah, Mawaddah dan Rahmah, sebagaimana firman Allah dalam Qs. Ar-Rum : 32, yang selama ini dapat dengan mudah kita temui dalam setiap undangan pernikahan kebanyak orang Indonesia.
Dilain sisi manakala terpaan pola pikir yunani “menginvasi” dunia muslim, perkara cinta tak sedikit Ulama yang mengkritisi dan menyampaikan pendapatnya, diantaranya Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah (1292-1349 M) dengan kitab Rhaudatul Muhibbinnya yang menjelaskan tentang tingkatan Cinta, adapula Imam Ibnu Hazm Al-Andalusi (994-1064 M) dengan kitab Tawqul Hamamah yang menyampaikan secara gamblang bahwa cinta tidak dilarang dalam syari’at sebab cinta hadir di dalam hati dan setiap hati manusia ada di tangan Allah. Begitupun dengan ulama termahsyur Syeikhul Islam Ibnu Taymiyyah (1263-1328 M) yang menjelaskan dalam kitabnya Qaidah Fil Mahabbah, bahwa pada hakikatnya setiap tindakan manusia hanya didasari oleh dua hal yakni Al-Hubb yakni Cinta dan Al-Iradah yakni keinginan, yang mana kedua aspek ini akan selalu bertolak belakang dengan Al-Bughd yakni Kebencian dan Al-Kirahah yakni ketidakmauan/ketidaksukaan. Dengan kata lain kecintaan seseorang kepada sesuatu akan menyebabkan orang tersebut membenci segala hal yang bertentangan dengan apa yang ia cintai. Contoh paling mudah bila kita mengaku mencintai Allah maka kita harus mencintai apa yang Allah cintai dan secara otomatis kita akan membenci apa yang Allah benci.
Pemahaman yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah dimana penjelasannya datang dari para Ulama sejatinya adalah pandangan yang harus kita gunakan dalam menalaah banyak hal, apalagi bicara tentang perasaan yang hadir dalam keseharian kita, bila menggunakan pandangan ini kita sebagai orang islam tentunya akan lebih mudah untuk menghindari perasaan-perasaan yang dapat mengarah pada maksiat. Seluruh pandangan tentang cinta yang ada dalam pandangan islam sejatinya memiliki tujuan untuk menjemput kriteria orang beriman yakni, Qs. Al-Baqarah : 165. “...walladzīna āmanū asyaddu ḫubbal lillāhi...” ...sesungguhnya orang yang beriman lebih besar kecintaannya terhadap Allah...
Dengan kata lain kecintaan kita terhadap segala sesuatu di dunia ini sejatinya tidak boleh lebih besar dibanding kecintaan kita kepada Allah, maka dari itu orang yang benar-benar beriman akan menjadikan segala hal yang ia cintai semata-mata sebagai sarana untuk mencintai Allah SWT.
0 Komentar