‎Bismillahirrahmanirrahim
Ada sebuah ungkapan...

‎(حكم الإله على الدنيا و زخرفها، أن الفناء لمن فيها كتبناه)
‎"Hukum Allah atas dunia dan segala perhiasannya. Ialah kefanaannya telah dituliskan."
‎Renungkanlah kalimat ini. Ia adalah pernyataan absolut tentang hakikat dunia dan nasib seluruh penghuninya. Di dalamnya terkandung kerangka eksistensi yang tak bisa dihindari oleh siapa pun, bahkan oleh mereka yang membanggakan dirinya di puncak dunia. Dunia ini, beserta seluruh gemerlapnya, tidak sedang berjalan menuju keabadian. Melainkan sedang menuju ke penghujung yang telah ditentukan.
‎ḥukmullāh (hukum Allah) ialah adanya keputusan final, bukan opini, bukan taksiran, dan bukan kemungkinan. Dunia bukanlah tempat yang netral. Bgi dunia ini telah ada sebuah keputusan. Dan keputusan itu adalah bahwa ia fana, sementara manusia yang tinggal di dalamnya tidak bisa lolos dari takdir itu. Dunia, sejak mula, tidak pernah dimaksudkan sebagai tempat tinggal permanen. Ia adalah jalan, bukan tujuan. Ia adalah panggung sementara, bukan tempat berpulang.
‎Adapun zukhrufihā berarti perhiasannya. Allah tidak hanya menetapkan kefanaan atas dunia secara substansial, tetapi juga atas segala sesuatu yang membuatnya tampak indah. kekayaan, kekuasaan, pencapaian, popularitas, cinta yang tak berakar pada iman, mimpi-mimpi besar yang disandarkan pada keinginan tanpa petunjuk. Semua itu, betapa pun memesonanya, telah ditakdirkan untuk sirna. Artinya, bahkan hal-hal yang manusia kira paling bermakna di dunia pun tunduk pada kefanaan yang sama.
‎Lalu kita sampai pada inti dari seluruh pernyataan. Anna al-fanā’a liman fīhā katabnāhu (bahwa kefanaan telah Kami tetapkan bagi siapa pun yang berada di dalamnya). Tak ada pengecualian. Tak ada satu jiwa pun yang bisa lolos. Tak ada tubuh yang bisa menunda pelapukan. Tidak ada nama besar yang bisa menawar kepunahan. Semua akan pergi. Semua akan dilupakan, kecuali amal yang menembus langit dan hati yang lurus dalam tauhid.
‎Namun, justru di sanalah letak kasih sayang Allah. Kefanaan bukan hukuman, melainkan peringatan. Dunia yang fana adalah bentuk rahmat. Sebab jika dunia ini abadi, manusia akan betah di dalam tipu dayanya. Mereka akan tersesat dalam kilau palsu yang tak pernah membawa pulang. Dengan kefanaan, manusia diingatkan bahwa dunia bukan rumah. Ia hanya tempat singgah. Dan manusia, dengan segala kesadaran dan akalnya, dituntun agar tidak menetap terlalu lama di ruang yang tidak ditetapkan untuk tinggal.
‎Dari situ, kita mulai melihat. Bahwa kehidupan ini adalah tempat ujian, bukan tempat pembuktian akhir. Kita bisa mengusahakan, bisa merancang, bisa bermimpi sejauh langit, namun harus tetap sadar bahwa semua itu bersandar pada bumi yang akan retak. Dan kesadaran itulah yang akan membawa kita kepada makna sejati dari syariat dan tauhid.
‎Syariat bukan batasan sempit atas kebebasan, melainkan petunjuk agar manusia tidak terjatuh mencintai sesuatu yang akan meninggalkannya. Tauhid bukan sekadar doktrin, tapi cahaya yang menjadikan kefanaan sebagai kendaraan menuju keabadian.
‎Maka pada akhirnya, hidup bukan tentang seberapa banyak yang kita miliki, tapi seberapa sadar kita bahwa semuanya akan musnah. Dan kemuliaan bukan milik mereka yang menimbun dunia, tetapi milik mereka yang tahu bagaimana dunia ini hanya alat, bukan tujuan.