Bismillahirrahmanirrahim.
Pernah nggak sih kamu merasa punya banyak teman, sering ketemu, saling kirim stiker di WhatsApp, tahu isi piring makan mereka dari story. Tapi tetap merasa kesepian waktu benar-benar butuh seseorang? Atau mungkin kamu pernah dalam posisi sebaliknya. Punya teman yang butuh bantuan, tapi kamu ragu buat nolongin. Bukan karena nggak peduli, tapi karena ada rasa takut dimanfaatkan, takut rugi, atau sekadar belum siap kehilangan sesuatu. Entah waktu, tenaga, atau uang.
Di zaman serba terkoneksi ini, kita memang lebih dekat secara fisik dan digital, tapi nggak selalu dekat secara batin. Kita bisa tahu lokasi teman kita lewat fitur share location, tapi nggak tahu isi pikirannya. Kita bisa lihat dia tersenyum di foto, tapi nggak tahu kalau dia sedang bingung cari cara bayar kos bulan ini. Dan yang paling ironis, kita tahu siapa pacarnya, tapi nggak tahu kalau dia butuh kita sebagai temannya.
Imam Al-Ghazali pernah menuliskan sesuatu yang sangat relevan, meskipun beliau hidup ratusan tahun lalu. Dalam kitab Ihya Ulumuddin, beliau berkata:
وقال بعضهم : إني لأعرِف أقوامًا كانوا لا يَتلاقَون ولو حكَمَ أحدُهم على صاحبه بجميعِ ما يَملكه لم يمنعْه، وأرى الآن أقوامًا يتلاقَون ويتساءلون حتى عن الدَّجاجة في البيت، ولو انبسَط أحدُهم لِحَبَّةٍ من مال صاحبه لَمَنعَه.
- إحياء علوم الدين-
Di antara mereka ada yang berkata, "Sungguh, dahulu aku mengenal orang-orang tidak pernah saling bertemu, dan seandainya salah seorang dari mereka menghukumi/mengklaim seluruh harta temannya adalah miliknya, niscaya dia tidak akan menolaknya dan menyerahkannya.
Dan sekarang aku melihat orang-orang yang saling bertemu dan bertanya bahkan tentang seekor ayam di rumah, tetapi seandainya salah seorang dari mereka meminta secuil harta temannya, niscaya dia sungguh akan menolaknya."
— Ihya Ulumuddin
Kita hidup dalam dunia yang sibuk dengan basa-basi, tapi sering kering dari empati. Kita terlalu takut dianggap “lemah” kalau minta tolong, dan terlalu takut kehilangan kalau harus menolong.
Kita pelit bukan karena jahat, tapi karena takut. Takut dimanfaatkan, takut kebaikan kita nggak dihargai, takut jadi rugi. Padahal, dalam Islam, memberi bukan soal untung rugi. Memberi adalah wujud iman.
Bersabda ﷺ Nabi Muhammad
“Tidak sempurna iman seseorang hingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.”
(HR. Bukhari & Muslim)
Artinya, standar persaudaraan itu bukan cuma nongkrong bareng atau saling sapa di grup. Tapi tentang kesiapan hati untuk memberi, tanpa menuntut kembali. Karena hakikatnya, ukhuwah itu bukan soal intensitas pertemuan, tapi seberapa besar kita peduli tanpa diminta.
Kita memang hidup di era penuh tekanan. Semua serba cepat, semua serba mahal. Tapi bukan berarti kita harus jadi manusia yang serba perhitungan. Dunia ini sudah cukup penuh dengan orang yang sibuk menjaga isi dompetnya sampai lupa menjaga hubungan dengan sesama.
Dan jangan salah, membantu itu nggak selalu soal uang. Kadang yang dibutuhkan cuma waktu untuk mendengarkan, tenaga untuk menemani, atau sekadar kehadiran yang tulus. Kita semua bisa mulai dari hal-hal kecil: mentraktir tanpa pamrih, bantu teman angkat kardus pindahan, nemenin dia ngurus administrasi rumah sakit, atau nggak ribet saat dimintai tolong sederhana.
Karena bisa jadi, hari ini kita yang membantu, besok kita yang dibantu. Hidup selalu berputar, dan kebaikan yang kita tanam hari ini, akan kembali dengan cara yang tak selalu bisa kita duga esok hari.
Dunia ini tidak butuh lebih banyak orang kaya, lebih banyak pengikut, atau lebih banyak kata-kata motivasi. Dunia ini hanya butuh lebih banyak hati yang lapang. Hati yang nggak sibuk menghitung siapa yang lebih dulu memberi. Hati yang tahu bahwa keberkahan hidup bukan ditentukan dari apa yang kita miliki, tapi dari apa yang rela kita lepaskan untuk orang lain.
Dan saat hidup kita selesai nanti, mungkin bukan gelar, jabatan, atau saldo tabungan yang orang-orang kenang. Tetapi seberapa tulus kita hadir di hidup mereka.
Semoga kita jadi bagian dari orang-orang itu.
Aamiin. 🤍
0 Komentar