Bismillahirrahmanirrahim.

Menulis ulang kisah-kisah dari renungan semoga calon buku ini cepat sampai ke tangan pembaca. Spoiler tipis-tipis...

Selamat membaca!

"Bunga Cinta Di Taman Surga"

Kita sering keliru mengira bahwa yang lembut adalah yang jauh dari medan perang, dan yang mencintai adalah mereka yang memilih tinggal di rumah, menghindari debu dan darah. Tapi Gaza, sejak lama, membalikkan pemahaman kita tentang cinta.

Di sana, kasih sayang tidak bersembunyi di balik gorden tipis dan ruang tamu yang wangi. Ia turun ke jalanan yang digempur, menyelimuti tubuh-tubuh kecil yang bergetar dalam pelukan ayahnya. Satu dari sekian banyak pejuang yang tahu bahwa satu-satunya tempat aman di dunia adalah dada tempat cinta tinggal.

Pejuang. Kata itu terlalu sering kita dengar dengan aroma kemarahan dan senjata.
Namun lihatlah wajah mereka di Gaza. Wajah yang ketika darah mengalir dari pelipis, masih mampu berkata 

"هنيئا لي شهيدا صرت يا أهلي"

"Selamat untukku. Aku telah menjadi syahid, wahai keluargaku."

Bukankah itu adalah bahasa cinta yang paling tulus?
Cinta yang tidak ingin dikenang lewat air mata,
tapi dilanjutkan lewat langkah-langkah yang terus berjalan.

Di dunia yang terus sibuk mencari aman,
ada jiwa-jiwa yang memilih tidak selamat. Karena mereka tidak ingin hidup hanya untuk menghindari luka menyelamatkan diri. Mereka berjalan ke garis api bukan karena tidak takut. Tetapi karena mereka begitu cinta dengan akhirat dibanding dunia sebagaimana kebanyakan orang mencintai dunia dibanding akhirat persis seperti para pasukan panglima Khalid bin Walid RA.

Cinta mereka tidak menyuapi dengan kata-kata manis, tidak menjanjikan rumah besar atau dunia yang tenang. Cinta mereka adalah cinta yang melepaskan.

Seolah ayah yang berkata kepada istri dan ibunya...

"زوجتي، هيا دعيني. فيا أمي، دعيني."

"Wahai istriku, biarkan aku. Wahai ibuku, izinkan aku pergi."

Cinta mereka tidak dibalut hadiah,
tapi dikafani oleh darahnya sendiri.

Kita lupa bahwa cinta sejati tidak selalu tampak seperti pelukan atau bisikan manja. Kadang cinta hadir sebagai batu di tangan kecil yang dilemparkan ke tank baja. Kadang cinta berkata... 

"لا تداووا نزف الجراح وادفنوني مع سلاحي"

"Jangan obati luka ini. Kuburkan aku bersama senjataku."

Apa arti hidup kalau tidak digunakan untuk sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri?

Para pejuang Gaza tidak menari di antara peluru karena gila. Mereka memilih begitu  karena waras. Sebab yang gila justru dunia yang mengizinkan bayi dibunuh dan kemerdekaan dikubur, lalu menyebut itu semua normal.

Gaza mengajarkan bahwa keberanian sejati bukanlah keras kepala. Tetapi kelembutan hati yang tidak tega membiarkan penindasan menjadi warisan bagi generasi selanjutnya.

Gaza adalah ayah yang membisikkan doa kepada anaknya yang sedang tertidur,
lalu mencium keningnya untuk terakhir kali sebelum pergi. Bukan untuk melarikan diri,
tetapi untuk menuntaskan tugas suci untuk membuktikan diri sebagai hamba sejati.

"كيف تنساني صديقي؟ قم أخي أكمل طريقي"

"Bagaimana mungkin engkau melupakanku, sahabatku? Bangkitlah, saudaraku, lanjutkan jalanku."

Surga adalah milik mereka yang hidup dengan hati yang terbakar cinta,
dan mati bukan karena kehilangan, tapi karena memberi segalanya.

Mereka tidak butuh dikenang dalam patung atau puisi, tapi dilanjutkan dalam keberanian yang membela yang lemah,
dalam suara yang menolak diam saat yang lain tunduk.

Dunia mungkin bisa membunuh tubuh,
menghancurkan rumah, menutup mata dunia. Tapi cinta seorang pejuang yang beriman tidak akan bisa di musnahkan.

Ia hidup dalam setiap hati yang berani.
Ia hidup dalam tulisan-tulisan seperti ini.
Ia hidup… selama masih ada orang yang bertanya,

"Apa yang bisa aku lakukan untuk membela kebenaran hari ini?"

Dan bila kamu masih membaca hingga akhir. Barangkali, cinta itu kini sedang tumbuh juga di dadamu.