Bismillahirrahmanirrahim.

Dalam sejarah panjang manusia, tak sedikit perang dimulai bukan dari denting senjata, tetapi dari sesuatu yang jauh lebih halus yaitu "istilah". Ia menyusup diam-diam, menyamar sebagai makna umum, lalu meledak menjadi konflik yang menelan kepercayaan, martabat, bahkan identitas sebuah bangsa.

Dalam salah satu ayat Al-Qur'an, ada pesan yang sepintas terdengar sederhana.

يٰۤاَ يُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَقُوْلُوْا رَا عِنَا وَ قُوْلُوا انْظُرْنَا وَا سْمَعُوْا ۗ وَلِلْكٰفِرِيْنَ عَذَا بٌ اَلِيْمٌ

"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu katakan Ra'ina, tetapi katakanlah, "Unzurna," dan dengarkanlah. Dan orang-orang kafir akan mendapat azab yang pedih."

(QS. Al-Baqarah 2 : Ayat 104)

Tapi di balik kalimat ini, tersembunyi filosofi tajam tentang kehati-hatian dalam berbahasa, tentang betapa sebuah istilah bisa menjadi medan tempur tersembunyi antara kebenaran dan tipu daya.

Kata “Ra‘ina” dalam bahasa Arab berarti “perhatikan kami”, namun kaum Yahudi Madinah saat itu memelintirnya menjadi penghinaan dalam bahasa mereka sendiri. Sebuah kata yang netral menjadi senjata ejekan, lalu disusupi niat buruk tanpa bisa dibaca dari maknanya secara langsung. Maka turunlah perintah yang seolah mengecam.  

"Jangan pakai kata itu lagi. Cari istilah lain yang lebih bersih dari penodaan makna!"

Hari ini, konteksnya masih sangat relevan. Bahkan lebih genting.

Kita hidup di zaman di mana istilah bisa menjadi alat propaganda. Kata bukan hanya jembatan komunikasi, tapi juga alat penguasaan wacana. Satu kata bisa memecah belah, bisa menstigma, bisa memanipulasi, bisa menyihir opini publik hingga orang tak lagi berpikir. Hanya menghakimi lewat label.

Banyak istilah yang terdengar biasa, tapi punya sejarah panjang di baliknya. Ia bisa mencabut akar intelektualitas seseorang, bahkan menjatuhkannya tanpa pengadilan, hanya karena label yang disematkan. Padahal, istilah-istilah ini sangat bergantung pada siapa yang mendefinisikan, dalam konteks apa, dan dengan niat apa.

Persoalan besar kita hari ini adalah terlalu banyak orang memakai istilah yang tidak mereka pahami secara utuh. Mereka mengutipnya dari televisi, dari media sosial, dari pidato politikus atau influencer, lalu menyebarkannya kembali seolah makna istilah itu mutlak. Padahal, banyak dari istilah itu adalah hasil rekayasa naratif, disusun bukan untuk menjelaskan kenyataan, tapi untuk membentuk persepsi.

Dan ketika persepsi dibentuk oleh musuh intelektual. Bukan oleh nalar, bukan oleh ilmu, bukan oleh iman. Di situlah kita mulai kehilangan arah. Sebuah bangsa bisa kehilangan daya pikir kolektifnya, hanya karena tidak lagi tahu mana istilah yang mewakili kenyataan, mana yang hanya bayang-bayang kepentingan.

Inilah sebabnya ayat tersebut bukan sekadar teguran linguistik. Ia adalah peringatan epistemologis. Bahwa kebenaran bisa terkubur oleh kata yang salah. Dan bahwa kita tidak boleh pasif dalam menerima istilah. Kita harus curiga, kita harus kritis, kita harus berani bertanya. 

"Mengapa kata ini dipakai?"

"Siapa yang pertama kali mempopulerkannya?"

"Apa tujuan di balik istilah ini?"

Karena mereka yang menguasai istilah, pada akhirnya menguasai realitas.

Lihat bagaimana hari ini narasi tentang keislaman dipersempit hanya menjadi urusan simbolik. Kata “Ummat” direduksi menjadi slogan atau pakaian seragam, bukan lagi diskusi kritis tentang implementasi keadilan dan masa depan agama islam. Orang yang bertanya kritis diposisikan sebagai pembangkang. Orang yang setuju semua hal, diberi label pahlawan.

Padahal ummat ini tidak kekurangan orang baik, hanya terlalu banyak orang kehilangan keberanian untuk menyebut sesuatu dengan nama yang jujur. Mereka tahu ada yang salah, tapi terlalu takut untuk melawan istilah yang sudah mapan.

Maka urgensi dari ayat ini menjadi semakin kuat. kita tidak bisa menyelamatkan makna jika kita tidak menyelamatkan istilah. Karena begitu istilah kehilangan akarnya, maka kita semua akan mengambang dalam dunia retorika kosong. Tanpa arah, tanpa pondasi.

Dan jika bangsa ini kalah suatu hari nanti, bisa jadi bukan karena kekuatan asing atau senjata canggih, tapi karena kekalahan dalam perang makna, kekalahan dalam mempertahankan istilah yang benar dan jernih.

Jadi, sebelum kamu melabeli seseorang dengan kata yang kamu tidak pahami asal-usulnya…
Sebelum kamu menyebarkan istilah yang kamu sendiri tak tahu apakah ia membawa kebenaran atau hanya perangkap…

Ingatlah bahwa satu istilah bisa menyelamatkan atau menghancurkan.
Bahwa satu istilah bisa mengikat atau melepaskan.
Dan bahwa sebuah bangsa yang masih bisa memilih kata dengan hati-hati,
masih punya harapan untuk menyelamatkan diri.

Sebagaimana nasihat abadi dari ayat ini.
"Jangan katakan 'Ra‘ina', tapi katakanlah 'Unzhurna', dan dengarkanlah."

Karena mungkin, keselamatan umat ini tidak hanya terletak pada pedang atau undang-undang,
tapi pada cara kita memilih kata.