Bismillahirrahmanirrahim.
Konon katanya, di Andalusia, sebuah negeri yang kini tinggal puing-puing sejarah, ada seorang pemuda bernama Abdurrahman. Ayahnya dibunuh oleh saudaranya sendiri yaitu paman Abdurrahman. Kemudian paman Abdurrahman dijatuhi hukuman mati oleh ayahnya sendiri yaitu kakek Abdurrahman. Ia adalah bangsawan yang lahir ditengah negara yang hampir bubar. Tapi entah bagaimana, ia berhasil melakukan sesuatu yang kini terdengar hampir mustahil. Menyelamatkan sebuah negara dari kegilaan internal.
Bayangkan, seorang pemuda di abad ke-10 bisa mengatur Andalusia. Meski besar ditangan para perempuan dalam instabilitas politik. Ternyata tidak menjadikannya sosok manja yang menjadi boneka dari ambisi rezim. Meski mungkin dimata orang-orang berpendidikan abad 21 dia seorang yang "Fatherless". Namun langkahnya justru lebih dewasa, jauh melampaui umurnya. Tanpa harus membuat drama politik, tanpa bikin sindiran di media sosial, tanpa bikin rapat koordinasi nasional yang isinya saling sikut. Ia keluar dari istana, menengok dunia yang lebih luas, dan menyadari. Musuh sejati bukan sesama saudara yang beda bendera, tapi mereka yang secara nyata mengincar hancurnya tanah kelahiran.
Setelah kakeknya wafat meski banyak pamannya yang bisa menggantikan jabatan sebagai kepala negara. Namun dengan bijaksana sang kakek sudah berwasiat bahwa Abdurrahman lah yang paling cocok menggantikan posisi pemimpin tertinggi. Karena ia melihat ada kesadaran yang dimiliki Abdurrahman dan tidak ada dalam diri anak-anaknya.
Maka sehari setelah wafat kakeknya. Di umur dua puluh satu Abdurrahman naik tahta menghadapi realitas politik yang carut-marut. Berhadapan dengan si murtad Samuel bin Hafshun di timur, para gubernur muwallad di berbagai kota. Sampai kerajaan-kerajaan kristen yang kembali melakukan Reconquista di utara. Dia benar-benar paham nasib negaranya sudah diujung tanduk.
Maka ia satukan semua yang tercerai-berai, bukan dengan slogan persatuan, tapi dengan menyodorkan kenyataan pahit. Jika kalian tidak bersatu, kalian akan dimakan hidup-hidup! Bukan oleh hantu ideologi, tapi oleh pasukan bersenjata dari utara yang tak peduli debat internal kalian soal siapa yang paling Islami, paling patriotik, atau paling layak duduk di singgasana.
Lucunya, di sebuah wilayah yang katanya sudah maju dan demokratis, negeri modern dengan semua instrumen negara dan sistem pemerintahan yang (konon) canggih. Fenomena serupa justru berulang, tapi dengan hasil yang jauh berbeda. Di negeri ini, ketika krisis datang, solusi yang diambil bukan persatuan melawan ancaman eksternal, melainkan penguatan konflik internal. Alih-alih menyatukan kekuatan, justru sibuk membuat daftar siapa kawan siapa lawan berdasarkan siapa yang tepuk tangan paling keras di acara partai.
Ah, betapa romantisnya melihat elit-elit itu mengangkat sumpah untuk rakyat, lalu saling bantai demi posisi dan proyek.
Di Andalusia dulu, "common enemy" itu jelas. Pasukan Kristen dari utara, ekspansi asing, dan kehancuran tatanan Islam. Maka Abdurrahman memilih bergerak. Membentuk pasukan, memperkuat ekonomi, dan membangun kota. Bahkan menghidupkan sains dan sastra agar rakyatnya tidak hanya kuat secara fisik, tapi juga tajam dalam berpikir.
Sekarang? Common enemy bisa jadi apa saja. Inflasi, utang luar negeri, dominasi asing, bahkan krisis pendidikan. Tapi lebih sering musuh bersama itu justru dijadikan alat tawar. Disulap jadi jargon, dikemas jadi proyek kebijakan, dan diperebutkan siapa yang paling banyak dapat bagian. Lalu publik diajak tepuk tangan, disuruh memilih, disuruh percaya bahwa ini semua demi negara.
Sementara itu, rakyatnya? Masih sibuk antre bantuan, belajar daring pakai pulsa seadanya, atau digiring dalam wacana bahwa kritik adalah dosa dan loyalitas adalah kebenaran.
Barangkali benar. Menyelamatkan negara memang berat. Tapi kadang yang lebih berat adalah menyadari bahwa banyak orang yang justru tak ingin negara benar-benar selamat. Karena negara yang sehat tak butuh banyak pertunjukan. Ia cukup butuh arah.
Di sinilah ironi dalam perputaran peradaban.
Dulu, Andalusia bisa bersatu karena sadar, kalau terus begini, habis sudah nasib mereka. Sekarang, banyak yang justru hidup dari menikmati keadaan "terus begini" berharap endingnya bahagia padahal negara sedang dibawa entah kemana. Perpecahan dijadikan bisnis. Kekacauan jadi komoditas. Dan nasionalisme? Ah, itu tinggal kata mutiara di atas baliho.
Jadi, apakah misi penyelamatan negara itu masih mungkin?
Tentu saja. Jika yang duduk di atas mulai berpikir seperti Abdurrahman. Bahwa menyelamatkan negara tak bisa dilakukan dengan menciptakan lebih banyak musuh di dalam, tapi dengan mengenali siapa sebenarnya musuh bersama di luar sana. Bukan musuh dalam bentuk bendera atau senjata, kadang cukup bernama kerakusan, ketidaktahuan, dan ego yang tumbuh terlalu besar dalam ruang kekuasaan.
Mungkin, di negeri ini, yang dibutuhkan bukan satu Abdurrahman, tapi cukup satu keberanian untuk berhenti menyalah gunakan kuasa apapun dan mulai membangun kekuatan.
Itu pun… kalau masih ada niat untuk benar-benar menyelamatkan negara ini.
0 Komentar