Bismillahirrahmanirrahim.
“Aku pernah merasa merdeka.
Tapi ternyata, aku cuma sedang memilih bentuk borgol yang berbeda.”
“Katanya aku berkuasa atas pikiranku. Tapi ternyata, pikiranku dikurung wacana-wacana yang sudah dibentuk lama. Jauh sebelum aku bisa mengeja nama sendiri.”
“Mereka bilang aku bebas. Tapi hanya karena aku bisa membeli sesuatu yang bahkan tidak kubutuhkan.”
“Negaraku merdeka, tapi hidupku dijajah citra.
Diriku merdeka, tapi duniaku dipenjara algoritma.
Akalku masih hidup, tapi hatiku… sudah disekolahkan untuk tunduk.”
“Dan kau tahu siapa yang paling kuwaspadai?
Bukan penguasa, bukan pembuat sistem…
Tapi ‘aku’ yang percaya semua ini baik-baik saja.”
***
Atas dunia? Atau cuma atas ilusi yang kutanam sendiri di alam pikiranku?"
Aku berjalan di koridor yang tidak pernah kubangun. Dindingnya dari batu-batu bersuara. Membisikan propaganda, jeritan pasar, dan gema kitab-kitab tua yang dijadikan berhala oleh generasi yang bahkan lupa mengeja makna. Aku menyusuri lorong itu sambil menggenggam sesuatu yang tak kupahami sepenuhnya. Sebuah mahkota dari kertas, bercak tinta, dan ilusi kekuasaan yang lebih sering dipinjamkan ketimbang dimiliki.
Setiap langkahku memantul ke cermin yang saling berhadapan. Satu menampilkan aku seperti yang dunia inginkan—bersih, nyaring dan penuh opini. Yang satu lagi lebih jujur, tapi lebih samar, aku di sana seperti siluet, penuh goresan pertanyaan yang tak pernah selesai ditulis.
Siapa aku?
Sejak kecil aku diajari bahwa aku ini raja atas diriku sendiri. Tapi tak ada yang mengajarkanku bagaimana menulis konstitusi untuk jiwaku sendiri. Tidak ada pelajaran bagaimana menegakkan hukum atas hasrat yang tak bisa kuadili. Tidak ada peta tentang cara menertibkan negara kecil bernama "diri".
Dan di titik itu, aku teringat sesuatu yang pernah kubaca—bahwa "daulat" berasal dari kata daulah yaitu pemerintahan. Bahwa sebelum ia menjadi simbol kekuasaan politis, daulat adalah keberadaan sebuah pemerintahan. Maka seseorang yang berdaulat... adalah ia yang dirinya menjalani hidup dalam sebuah pemerintahan yang nyata. Ia yang memerintah dirinya dengan hukum yang kokoh, bukan dengan keinginan yang berubah setiap musim.
Maka kuajukan pertanyaan baru pada diriku:
"Adakah aku diri yang beraulat?"
Bukan kedaulatan yang punya tentara, tapi yang punya ketegasan atas naluri.
Bukan yang punya bendera, tapi yang punya prinsip hidup yang tak tergadaikan.
Bukan yang sibuk membangun jalan tol, tapi yang menjaga jalan hidup yang lurus dan tak mudah digoda persimpangan.
Jika dalam bahasa dunia disebut konstitusi,
Maka dalam bahasa bahasa hati disebut prinsip hidup, yang tidak ditulis di atas kertas tapi dipahat di dalam jiwa.
Bukan hanya diyakini, tapi ditegakkan.
Bukan hanya dibaca, tapi dijadikan pegangan hidup sehari-hari.
Karena jika tubuhku ini adalah teritori,
Maka pikiranku adalah kementerian informasi.
Lisanku adalah parlemen bagi para menteri.
Dan hatiku... adalah mahkamah tertinggi.
"Bagaimana bisa aku menuntut negara berlaku adil, jika diriku sendiri kacau balau?"
Aku sadar, inilah pangkal dari banyak krisis.
Kita menuntut keadilan sosial, tapi hati kita masih dikuasai keserakahan.
Kita mengutuk pemimpin yang culas, tapi kita berdamai dengan kebohongan kecil yang sering kita lakukan setiap hari.
Kita ingin perubahan sistemik, tapi tak mau menegakkan sistem moral dalam diri sendiri.
Aku menutup kedua mata, bukan untuk tidur, tapi untuk membuka mata yang lainnya.
Mata yang tidak melihat dunia, tapi menatap ke dalamnya.
Mencari sisa-sisa hukum agung yang mungkin pernah kupelajari saat kecil tapi tak pernah kupaku di dinding nurani, atau barangkali sudah kupaku, namun dindingnya yang runtuh ketika kubiarkan prinsip lain merasuki hati.
Mungkin itu sebabnya kita gagal.
Bukan karena sistem luar terlalu kuat.
Tapi karena sistem dalam terlalu lemah.
"Diri yang berdaulat adalah dia yang menegakkan prinsip hidupnya dalam sunyi, yang menjadikan dirinya sebagai Negara Kecil, tempat hukum agung berdiri tanpa harus berdebat mencari siapa yang paling layak dicintai."
"Ia bukan raja, tapi penjaga. Bukan penguasa, tapi hamba dari yang maha kuasa."
Dan mungkin, kisah ini bukan tentang politik.
Mungkin ini tentang engkau.
Dan satu-satunya negara yang tersisa—adalah hatimu sendiri!
0 Komentar