Ada sebuah negeri yang tak terpetakan di antara peta-peta dunia. Negeri ini tak punya musim, tak punya masa lalu, dan tak pernah merencanakan masa depan. Negeri ini tak pernah disebut namanya, karena mereka yang tinggal di sana tak pernah memerlukan nama untuk merasa berarti.
Penduduk negeri ini adalah pemuda dan pemudi yang tak pernah menua. Wajah mereka cerah, tubuh mereka tegap, semangat mereka tak pernah surut. Mereka bekerja dan bersenang-senang dalam satu tarikan napas, seolah keduanya tak pernah bertentangan. Pagi mereka sibuk dengan tugas-tugas yang entah siapa yang membagikan, dan malam mereka berpesta hingga bintang kelelahan menemani. Mereka mudah tertawa, melupakan lebih mudah lagi. Bila sakit hati, cukup menyanyi. Bila patah hati, cukup menari. Bila kecewa, tinggal mengganti suasana. Mereka menyebut itu kebijaksanaan masa muda. Ringan, lentur, dan tak membebani.
Di negeri itu, tak ada sekolah yang mengajarkan kenapa air mengalir ke bawah. Tak ada diskusi panjang tentang baik dan buruk, atau hitam dan putih. Semua begitu saja. Apa yang menyenangkan adalah benar. Apa yang menyakitkan adalah keliru. Dan apa yang membuatmu berpikir terlalu dalam... mungkin lebih baik ditinggalkan.
Namun, di tengah negeri ini, jauh dari pusat keramaian dan cahaya lentera malam, ada sebuah desa kecil yang nyaris dilupakan. Di sana berdiri sebuah menara. Menjulang sendirian, tinggi seperti tidak tahu malu. Puncaknya menembus awan, dan dasarnya dikelilingi kabut yang membuat siapa pun enggan mendekat. Tak ada jalan menuju ke sana selain kaki sendiri. Tak ada pintu masuk selain keberanian. Di menara itu, tinggal satu-satunya orang tua yang pernah ada di negeri itu. Seorang kakek yang tak pernah turun, tak pernah bicara, dan tak pernah diundang ke pesta.
Mereka menyebutnya Hantu Waktu.
Konon, jika kau naik ke menara, kau akan menua. Rambutmu akan memutih, tubuhmu akan melemah, dan jiwamu akan dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang tak ada jawabannya. Menara itu adalah sisa masa lalu yang tak ingin mereka ingat. Tempat semua yang tak lagi relevan disimpan dengan rapi. Buku-buku, tulisan tangan, dan pemikiran yang tak menghasilkan tawa.
Dan semua tetap seperti itu… sampai hari ketika seorang pelancong datang.
Ia seorang pemudi dari negeri yang jauh. Wajahnya tak seceria para penduduk, namun matanya menyimpan kedalaman yang tak bisa diukur. Ia bertanya. Ia menyimak. Ia tidak cepat tertawa, tapi bila tertawa, tawa itu datang dari hati terdalam. Ia terpesona oleh negeri itu, oleh pemuda-pemudi abadi, oleh cara mereka hidup tanpa beban. Tapi ada satu hal yang terus mengusik hatinya.
"Bagaimana kalian tahu bahwa kalian muda, jika kalian tak pernah merasa tua?"
Mereka menjawabnya dengan bijak, seorang anak muda yang bijak menjawab.
"Muda adalah ketika kau merasa bebas. Tua adalah ketika kau memikirkan terlalu banyak hal yang tak bisa kau ubah"
Dan pemudi itu tertawa kecil, tapi tidak benar-benar puas.
Ketika ia bertanya soal menara, wajah para pemuda berubah. Mereka menyuruhnya menjauh. “Itu tempat yang membuatmu lupa bagaimana caranya tertawa,” kata mereka. “Kau akan hilang. Kau akan berubah.”
Namun rasa ingin tahu jauh lebih kuat dari rasa takut.
Diam-diam, ia mendekat ke menara. Kabutnya dingin dan basah, namun langkahnya tetap. Ia mulai naik. Tangga demi tangga. Langkah demi langkah. Dan di tiap anak tangga, tubuhnya berubah. Pinggangnya pegal. Matanya kabur. Jantungnya berat. Ia mulai lelah. Untuk pertama kalinya, ia merasakan waktu. Dan rasa takut datang bersamaan.
Namun ia terus naik, hingga sampai di pintu kayu tua yang terbuka dengan suara erang pelan. Di dalamnya, tak ada hantu. Tak ada kakek. Hanya tumpukan buku, alat-alat aneh, dan tulisan-tulisan yang tak sempat selesai.
Ia membaca. Ia mencoba memahami. Namun tak satu pun memberinya kejelasan. Ia semakin tua, semakin lelah, dan mulai putus asa. Maka ia memutuskan untuk turun. Tapi anehnya, setiap langkah ke bawah justru mengembalikan tubuh mudanya. Punggungnya tegak. Kulitnya mengencang. Matanya jernih. Hingga akhirnya, ketika ia hampir mencapai dasar, ia berpapasan dengan seorang pemuda tampan berpakaian jubah kebesaran. Wajahnya pucat. Tangannya gemetar. Ia naik dengan terburu-buru, dan hanya sempat menatap pelancong itu dengan mata takut.
Pemudi itu mencoba bertanya, namun sang pemuda sudah menghilang ke atas.
Keesokan harinya, ia bertanya kepada para penduduk. Dan mereka mengenali pemuda berjubah itu. “Dia datang dari langit,” kata mereka. “Kadang muncul saat malam, lalu menghilang. Tapi dia tak pernah tinggal.”
“Aku melihatnya naik ke menara,” kata pelancong.
Namun mereka tertawa. “Di menara hanya ada kakek tua. Semua orang tahu itu.”
Hati pelancong bergetar. Ia kembali ke menara.
Dan kali ini, ia benar-benar menemui sang kakek.
Ia mengenali jubahnya. Jubah yang dipakai pemuda tampan itu. Dan saat sang kakek berbicara, ia tahu—mereka adalah orang yang sama. Hanya saja, di menara, sang pemuda menjadi tua. Menara itu mengungkapkan bentuk sejati seseorang. Tubuh yang menua seiring bertambahnya pemahaman.
Mereka berbincang lama. Tentang waktu. Tentang makna. Tentang apa yang membuat manusia bertumbuh, bukan hanya bertahan. Tentang cinta yang lahir dari pengertian, bukan hanya ketertarikan. Dan pelancong itu mengerti. Untuk pertama kalinya, ia tidak ingin lari dari kelelahan. Ia ingin tinggal. Bersama kakek yang kini ia tahu, hanyalah pemuda yang memilih naik. Yang memilih menua untuk memahami.
Mereka turun bersama. Dan saat menjejak tanah, sang kakek kembali muda. Tubuhnya segar, wajahnya bersinar. Dan malam itu, di pesta yang biasa saja, mereka berbicara tentang hal-hal yang tak biasa. Cinta, kesementaraan, dan keabadian yang tidak tinggal di tubuh, tapi dalam kesadaran.
Dan sejak malam itu, mereka tinggal di menara. Turun hanya sesekali, untuk memberi senyum pada dunia yang lupa bagaimana rasanya berpikir dalam diam.
Sampai suatu hari, saat fajar nyaris mekar, menara itu disinari cahaya putih. Tak seorang pun melihat mereka turun lagi. Tapi tak ada yang bersedih. Karena sebagian dari mereka, diam-diam, mulai berjalan mendekati kabut.
Dan dunia, sejak saat itu, mulai berpikir kembali.
0 Komentar