Bismillahirrahmanirrahim
Di masa lalu ada seorang lelaki sederhana yang rambutnya botak, membawa tombak bertuliskan ayat Qur’an, menjual air sepanjang hari demi sesuap nasi. Ia berjalan dari desa ke desa, tampak biasa, bukan bangsawan, bukan pemimpin. Namun seiring langkahnya melewati Tangier, semangatnya menggetarkan seluruh suku Berber.
Namanya Maysarah al‑Matghari. Sejarah menyebutnya Al‑Ḥaqir berarti “yang hina” atau “tercela”. Karena para elit Umayyah ingin mencatatnya dalam sejarah sebagai simbol rendahan. Tapi sesungguhnya, ia bukan sekedar alat propaganda rezim ia adalah pemimpin yang dipercaya memimpin suku Matghara. Ia lebih dari sekadar penjual air keliling ia adalah suara dari peradaban yang muak dengan derita dan penindasan.
Sejarah mengenal Maysarah al‑Matghari sebagai pemimpin pemberontakan Berber pada tahun 740 M. Dengan dua wajah yang saling bertolak belakang. Di satu sisi, ia adalah simbol perlawanan terhadap ketidakadilan penguasa Umayyah. Di sisi lain, ia dicatat oleh sebagian besar sumber klasik dengan julukan Al-Haqir yang berarti “yang tercela”. Sebutan ini tidak muncul tanpa sebab, dan di sinilah kita perlu mengurai makna terdalam dari sebuah kekeliruan.
Maysarah memimpin kaum Berber yang selama ini mengalami diskriminasi sosial dan agama. Meski telah memeluk Islam, mereka tetap dipungut jizyah, dijarah hartanya, dan diperlakukan sebagai warga kelas dua oleh elit Arab. Pemberontakan ini awalnya adalah bentuk perlawanan sah terhadap kezaliman yang terstruktur. Ia membangkitkan harga diri kaumnya dan merebut Tangier, bahkan mengeksekusi gubernur Umayyah yang represif.
Namun, titik balik kekeliruannya dimulai ketika ia mengangkat dirinya sebagai Amirul Mu’minin. Gelar yang secara tradisi hanya digunakan untuk khalifah. Di sinilah semangat pembebasan berubah menjadi ambisi kekuasaan. Ia kehilangan dukungan dari sebagian sekutunya, yang menganggap tindakannya terlalu jauh dan prematur.
Tak lama, ia digulingkan oleh kaumnya sendiri dan dieksekusi. Bagi sejarawan seperti Ibn Khaldun, pemberontakannya tetap monumental, tetapi kekeliruannya menjadi pelajaran. Perjuangan yang kehilangan keseimbangan antara idealisme dan kebijaksanaan bisa runtuh dengan sendirinya.
Bayangkan Maysara dalam senja gurun, menatap api unggun bersinar terang. Disekelilingnya wajah-wajah lelah suku Matghara yang rasa malunya dicabik. Ia berdiri bukan karena ingin berkuasa, tapi karena keadilan. Ia mengambil tombak Qur’an bukan karena mendambakan simbol, tetapi menyatakan bahwa keturunan Arab tidak punya monopoli atas khalifah. Dan saat ia mengangkat tangan memimpin shalat di Tangier, ada guncangan sejarah yang sulit ditarik mundur.
Tapi dalam momentum itu, ia lupa membekali dirinya dengan stabilitas politik. Ia dipuja di pagi hari, esoknya digulingkan sebelum fajar tiba. Dan inilah tragedi Maysara. Pemimpin pemberontak yang kalah sebelum pertarungan yang sebenarnya terjadi. Karena ia mengejar cita-cita tanpa memahami medan, dan tak meninggalkan ruang kompromi untuk suara teman seperjuangan.
Fenomena ini tak jauh berbeda dengan dinamika kontemporer. Kita melihat banyak gerakan perlawanan terhadap ketimpangan, baik yang berbasis agama, sosial, atau ekonomi. Beberapa dimulai dari keprihatinan yang tulus dan tuntutan keadilan yang sah. Namun, sebagaimana kisah Maysara, sebagian jatuh ke dalam pola yang sama. Semangat berubah menjadi emosi, protes berubah menjadi ambisi, dan perjuangan berubah menjadi perebutan kekuasaan.
Beberapa aktivis, baik di dunia nyata maupun media sosial berangkat dari keresahan terhadap ketidakadilan. Tapi kemudian menggunakan ketenaran atau pengaruhnya untuk memonopoli kebenaran. Mencap "musuh" siapa pun yang berbeda pandangan. Bahkan membentuk “kultus personalitas” yang mirip klaim Amir al‑Mu’minin dari Al‑Ḥaqir. Di titik ini, masyarakat tak lagi diajak berpikir, tapi diseret dalam polarisasi. Dan seperti yang dialami Maysarah, dukungan bisa berubah menjadi pengkhianatan bila jalan yang ditempuh keluar dari nilai awal perjuangan itu sendiri.
Kesalahan al‑Ḥaqir bukanlah karena ia berani melawan, melainkan karena ia tidak mampu mengelola arah perlawanan itu. Ia gagal membedakan antara membela hak dan merebut tahta. Ia tidak siap menghadapi kompleksitas transisi dari seorang pemberontak menjadi pemimpin. Ini adalah cermin bagi siapa pun hari ini yang mengira bahwa semangat semata cukup untuk membawa perubahan. Tanpa strategi, tanpa kedewasaan dan tanpa akhlak.
Dalam Islam, membela keadilan adalah perintah, tetapi jalan menuju keadilan tidak bisa dilepaskan dari prinsip yang benar.
Nabi Muhammad ï·º tidak pernah melawan kezaliman Quraisy dengan cara yang zalim pula. Beliau tidak membalas penghinaan dengan hinaan, tidak menjawab kekerasan dengan kesewenang-wenangan. Maka siapapun yang membela kebenaran harus ingat bahwa cara dan akhlak dalam berjuang adalah bagian dari keadilan itu sendiri.
Al‑Ḥaqir adalah peringatan bahwa tak semua perlawanan itu benar, walau dimulai dari alasan yang benar. Terkadang yang “tercela” bukan hanya musuh yang dzalim, tapi juga kawan yang kehilangan kendali dalam melawan. Perjuangan akan tetap suci selama tidak dibajak oleh ego, amarah, dan nafsu untuk menang sendiri.
Dalam kisah Maysara kita melihat tragedi yang disebabkan bukan karena niatnya salah, tapi strategi dan eksekusinya kurang matang. Ia menginspirasi dalam perlawanan, tapi gagal membangun sistem. Ia simbol perubahan, namun mati dikhianati oleh bayangannya sendiri.
Jika kamu berdiri menuntut kebenaran hari ini, belajarlah dari Al‑Ḥaqir. Idealisme harus dipertegas dengan kebijaksanaan. Gerakkanlah hati dibawah naungan visi. Tetapi siapkan juga pelindung struktur untuk antisipasi. Karena perubahan yang abadi bukan hanya tentang siapa yang pertama kali menyalakan api. Tapi siapa yang bisa menjaga kobaran itu tetap menyala ketika angin perubahan datang menerpa.
Hari ini, dunia penuh dengan orang yang ingin “mengubah sistem”. Namun sangat sedikit yang mau mengubah diri, mengasah hikmah, dan mendidik akhlak. Padahal, perubahan sejati dimulai dari hati yang bersih. Bukan dari kemarahan yang meluap-luap.
Dan kita tengah dihadapkan dengan transisi kepemimpinan global diseluruh penjuru bumi. Bahkan di tanah air sosok-sosok "tercela" kembali muncul untuk membangun massa. Ambillah pelajaran dari sosok Al-Haqir, ketika kultus personal yang dijadikan narasi. Emosi sesaat yang dijadikan alat. Keadilan mutlak yang dijadikan jaminan. Endingnya pasti tak jauh berbeda.
Karena tak semua yang berteriak lantang adalah benar, dan tak semua yang melawan adalah pahlawan.
0 Komentar