Di sebuah garis pantai yang panjang dan tenang, hiduplah sekelompok orang yang tidak pernah berani melangkah lebih jauh dari buih ombak yang menyentuh kaki mereka.
Mereka membangun rumah-rumah kecil dari batu karang dan cerita lama. Mereka hidup dari angin yang tetap dan matahari yang ramah. Setiap hari, mereka berkumpul menghadap laut, duduk bersila sambil menatap cakrawala.
“Lihat,” kata salah satu dari mereka, menunjuk kapal kecil di kejauhan.
“Ada lagi yang mencoba menantang lautan. Nanti juga kembali dengan perahu rusak atau cerita sedih.”
Yang lain tertawa, “Atau tidak kembali sama sekali.”
Mereka menertawakan para pelaut seperti menonton drama dari kejauhan. Terkadang mereka kagum pada keberanian, pada mimpi, pada langit yang luas yang ditempuh oleh layar-layar putih. Tapi lebih sering, mereka gemar mencela jika kapal itu kembali dengan pecahan dan luka.
***
“Orang-orang pantai tidak butuh peta, karena mereka tak pernah ingin pergi ke mana-mana.”
***
“Yang berani berlayar akan dihormati... sampai mereka tenggelam. Lalu dihina karena dianggap bodoh.”
***
Di antara mereka, tak ada yang benar-benar ingin tahu seperti apa rasanya terombang-ambing di tengah badai. Tapi mereka selalu punya pendapat tentang arah angin, tentang waktu berangkat, bahkan tentang tali simpul di layar perahu orang lain.
“Aku pernah bilang, jangan berlayar saat bulan separuh,” ujar satu orang, mengangguk bijak, meski tak pernah sekali pun menyentuh dayung.
Hari berganti hari. Laut tetap biru dan tak pasti. Pantai tetap kering dan nyaman.
Terkadang, seorang pelaut pulang. Matanya gelap terbakar matahari, tubuhnya kurus, bajunya compang-camping. Tapi bibirnya membawa senyum yang tak bisa dibeli di pasar pasir.
Ia tidak membawa emas. Ia membawa kisah.
Tapi orang-orang pantai lebih suka membicarakan bajunya yang robek daripada keberanian yang membawanya sejauh itu.
***
“Mereka takut gagal, tapi lebih takut melihat orang lain berani.”
***
“Yang tinggal di pantai percaya mereka aman. Padahal, diam juga bisa tenggelam dalam penyesalan yang tak pernah berlayar.”
***
Di suatu malam yang sunyi, seorang anak kecil bertanya pada ibunya.
“Bu, kenapa kita tidak pernah ikut ke laut?”
Sang ibu terdiam. Lalu menjawab.
“Karena di sini kita bisa melihat tanpa kehilangan. Bisa bicara tanpa mencoba. Bisa hidup tanpa terlalu berharap.”
Anak itu memandangi laut.
Lama. Lama sekali. Hingga matanya seperti mencari sesuatu yang belum punya nama.
Dan besok paginya, satu perahu kecil hilang dari dermaga.
0 Komentar